Sketsa yang
terlukis di salah satu lembaran buku setebal seribuan halaman, disertai
catatan yang dibuat sekitar abad XV itu, telah menjadi karya inspiratif
bagi dunia militer. Leonardo da Vinci (1452-1519), adalah orang yang
sangat berjasa karena coretan-coretan tersebut. Sebuah tuangan
imajinasi, yang kemudian menjadi salah satu perlengkapan perang modern,
beberapa abad sesudahnya. Sebuah mahakarya yang selanjutnya digunakan
angkatan perang di berbagai belahan dunia, yang dikenal dengan
“parasut”.
Berasal dari bahasa Perancis, yaitu “
para” yang berarti melindungi dan “
chute”
atau jatuh, menjadikan benda yang diartikan sebagai “pelindung ketika
jatuh” ini, berkembang tak hanya sebatas perlengkapan tempur semata.
Akan tetapi, telah bermetamorfosis menjadi peralatan utama–menjadi ciri
khusus pasukan penerjun payung. Di mana karena aksi mereka, garis
pertahanan lawan pun dibikin hancur tak bersisa.
Benda
yang mempunyai bentuk khas cembung ini memiliki kisah perjalanan cukup
panjang. Melalui serangkaian percobaan, bahkan tak jarang sampai
merenggut nyawa sang juru coba, parasut berjalan menuju ke arah
penyempurnaan. Di awal penemuan, berbagai negara di belahan Eropa dan
Amerika pun berlomba-lomba membikin parasut yang cukup aman bagi
keselamatan para penerjunnya.
MENGUJI COBA SEBUAH IMAJINASI
Satu
dasawarsa sebelum Leonardo da Vinci membuat sketsa parasut–lengkap
dengan perhitungannya pada tahun 1485–dalam buku yang dikenal dengan
Antlatic Codex,[1]
seseorang telah membuat lukisan serupa pada lembaran naskah tanpa
identitas. Namun dalam lukisan tersebut, si pembuat tidak menyertakan
keterangan gambar, catatan, bahkan namanya sendiri. Karya yang
diperkirakan dibuat tahun 1470-an itu melukiskan seseorang dalam posisi
bergantungan pada sebuah papan berbentuk kerucut. Selain itu, kedua
tangannya berpegangan pada bingkai–kerangka yang membentuk persilangan.
Sebagai pengaman, empat tali yang terikat di tiap ujung kerangka
dililitkan pada pinggang si penerjun.
Sketsa
parasut yang dibuat Leonardo da Vinci. Banyaknya catatan yang ada,
menunjukkan bahwa da Vinci sangat menaruh perhatian pada parasut.
(Sumber :http://www.aero.com/parachutes).
Meski
dalam desain tersebut si penerjun tampak aman, namun keselamatannya saat
menjatuhkan diri cukup diragukan. Bidang permukaan kerucut yang cukup
kecil, serta kerangka yang diperkirakan terbuat dari kayu, akan membuat
si penerjun semakin cepat menghujam ke bumi. Sehingga ketika si pembuat
saat itu mempraktekkan, sangat dimungkinkan dirinya mengalami kecelakaan
fatal.
Lukisan
parasut tertua yang dibuat pada zaman renaissance di Italia sebelum
Leonardo da Vinci.
(Sumber :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b1/Conical_Parachute%2C_1470s%2C_British_Museum_Add._MSS_34%2C113%2C_fol._200v.jpg/398px-Conical_Parachute%2C_1470s%2C_British_Museum_Add._MSS_34%2C113%2C_fol._200v.jpg)
,
Aksi “Flying man” yang dilakukan Fausto Veranzio pada tahun 1595.
(Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/d/de/Homo_Volans.jpg/358px-Homo_Volans.jpg).
Eksperimen
parasut terus berlanjut. Tahun 1595, Fausto Veranzio, seorang warga
Italia, membuat parasut seperti sketsa yang dilukis da Vinci. Papan yang
didesain menahan laju angin berbentuk piramid, ia pasangi dengan kain.
Dengan bahan tersebut, maka kecepatan jatuh yang dihasilkan semakin
kecil. Saat itu Veranzio melakukan uji coba pada sebuah menara di Kota
Venezia. Aksi tersebut kemudian dikenal dengan aksi “Flying Man”.
Memasuki
abad ke-18, desain parasut perlahan mulai mengalami perubahan. Di
tangan André Jacques Garnerin (1769-1823), warga Paris yang berminat
pada ilmu fisika, merancang bentuk lain dari parasut yang pernah ada
sebelumnya. Ia membuat parasut menyerupai payung hujan, dengan bagian
pinggir diberi tali kemudian diikatkan pada bagian penumpang. Model
parasut yang dibuat Garnerin pada tahun 1797 ini juga diilhami bentuk
balon udara yang dibuat Montgolfier bersaudara pada 1783.[2] Uniknya,
Garnerin membuat dan mencoba parasut ini di dalam tahanan pemerintah
Hungaria ketika menjadi tawanan perang. Meski selama tiga tahun masa
penahanan, namun Garnerin tak pernah berhasil melarikan diri.
André Jacques Garnerin dan parasut buatannya.
(Sumber: http://www.spartacus.schoolnet.co.uk/AVgarnerin.htm).
,
André Jacques Garnerin melakukan percobaan penerjunan.
(Sumber: http://en.wikipedia.com/Parachute).
Garnerin
baru bisa melakukan eksperimen gila setelah ia bebas dari tahanan.
Meski mengalami cidera, dirinya berhasil melakukan loncatan pertama di
dunia menggunakan parasut–dari sebuah balon udara–dari ketinggian 3.200
kaki atau sekitar 975 meter. Istri Garnerin, Jeanne-Genevieve, juga
melakukan hal serupa. Bahkan bisa dikatakan, ia adalah wanita pertama
yang melakukan terjun payung. Tak tanggung-tanggung, di tahun 1799 dan
berlokasi di Inggris–disaksikan ribuan penonton–Jeanne melangsungkan
aksi menegangkan itu dari ketinggian 2.438 meter.[3] Namun naas bagi
Garnerin, ia harus kehilangan nyawa pada 18 Agustus 1823. Saat itu balok
kayu menghantam tepat di kepalanya, ketika ia tengah mempersiapkan
balon udara untuk penerjunan tahap kedua.
MULAI DILIRIK MILITER
Ketika
Perang Dunia I berlangsung (1914-1918), kemajuan teknologi di beberapa
negara bisa dikatakan mengalami kemajuan sangat pesat. Berbagai temuan
peralatan modern–lebih ke peningkatan fungsi–banyak bermunculan di awal
abad ke-20 ini. Mulai pengembangan fungsi pesawat sebagai sarana
peninjau menjadi
fighter, sampai penggunaan kapal selam sebagai
penjaga samudera. Tujuan mereka hanya satu, memenangi peperangan demi
menjaga gengsi. Tak terkecuali penggunaan parasut.
Namun
saat itu, kaum militer belum terpikir menggunakan parasut sebagai sarana
penyergapan seperti yang dilakukan pada Perang Dunia II kelak.
Penggunaan parasut dalam Perang Dunia I ini masih sebatas pada
perlengkapan penyelamatan diri, seperti yang dilakukan Garnerin saat
melompat dari balon udara. Sebagai sarana keselamatan, parasut dibawa
operator pada sebuah balon udara–dikenal dengan “artileri
detektor”–balon observator Zeppelin.[4]
Tugas mereka tentu
saja mengoperasikan balon agar tetap stabil. Selain operator, orang
yang menggunakan parasut demi keselamatan adalah awak “spahkorb”.[5]
Mereka akan secepat kilat melompat, sambil menarik tali parasut pada tas
yang ia gendong. Parasut pun ke luar dari dalam tas. Jika si penerjun
sedang tidak beruntung, maka parasut tidak mengembang dan bisa
dipastikan ia akan meluncur kencang menghantam bumi.
Airship pertama yang dikenal dengan LZ-1 saat melakukan terbang perdana pada 2 Juli 1900
(Sumber: http://www.seekids.de/pics/zeppelin-lz1.jpg).
,
“Spahkorb” yang digunakan sebagai pengintai musuh di darat.
(Sumber : http://i11.photobucket.com/albums/a172/GrandLunar/Aviation/SubcloudcarcapturedfromLZ90-1a.jpg).
Gleb
Kotelnikov (1872-1944), adalah sosok yang paling berjasa di balik
penemuan ransel parasut. Selain menemukan ransel, pria asal Rusia
lulusan Kiev Military School tahun 1894 ini juga berhasil menciptakan
parasut yang diberi nama RK-1 (
Rantseviy Kotelnikova,
1st model) atau Ransel Buatan Kotelnikov model pertama. Tak hanya
membuat RK-1, Kotelnikov juga membuat parasut model lain seperti RK-2
dan RK-3. Ia kemudian mematenkan produk parasut itu pada Komite Penemuan
di Perancis. Karena dirasakan sangat bermanfaat bagi militer Uni
Soviet, maka pihak Angkatan Udara kemudian menggunakannya untuk para
pilot selama Perang Dunia I berlangsung. Selain menciptakan parasut
untuk penyelamatan pilot, pada tahun 1912 Kotelnikov menemukan parasut
yang bisa digunakan sebagai pengerem darurat pada pesawat dan mobil
berkecepatan tinggi. Hal yang patut diketahui dari Kotelnikov, selain
mencipta parasut modern bagi militer dan olahraga, ia juga punya andil
dalam pembentukan pasukan penerjun Soviet pada 1931.
Sosok Gleb Yevgeniyevich Kotelnikov (1872-1944) dengan ransel parasut penemuannya.
(Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/f/f5/Gleb_Kotelnikov.jpg).
Pasukan penerjun payung bentukan Kotelnikov ini merupakan bagian dari Angkatan Udara Uni Soviet. Kala itu mereka diberi nama
Parashyutno Desantniy Otryad (PDO)
atau dalam terjemahan bebasnya Unit Pasukan Para, yang pertama di
distrik militer Leningrad. Meski demikian, mereka belum benar-benar
menerapkan pola penyergapan pasukan payung seperti sekarang. Pola
penerjunan yang mereka anut saat itu menganut model penerjunan biasa,
baik dari pesawat maupun
glider. Bahkan bisa dikatakan penerjunan mereka terbilang sangat nekat.[6] Aksi pasukan yang nantinya bernama
Vozdushno-Desantnaya Voyska
(VDV) atau Kekuatan Penyerang dari Udara ini, di antaranya terlihat
dalam Perang Dunia II.[7] Yaitu ketika mereka berhadapan dengan pasukan
Fallschirmjager–pasukan payung Nazi Jerman.
Aksi nekat penerjunan pasukan Parashyutno Desantniy Otryad (PDO) Uni Soviet dari Tupolev TB-3
(Sumber:http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/6/69/Paratroopers_jumping_from_Tupolev_TB-3.jpg).
Guna meningkatkan daya hantam kesatuan, pada tahun 1933 PDO dikembangkan setara kekuatan brigade, dengan nama 3rd
Special Purpose Airborne Brigade.
Kekuatan mereka terbukti ketika diturunkan di distrik militer Ukraina
pada 1935. Namun kehebatan pasukan penerjun Uni Soviet ini terendus
negara-negara Eropa lainnya, seperti Jerman dan Inggris, karena mereka
menyaksikan aksi penerjunan tersebut. Orang-orang militer di kedua
negara ini pun kerap mendiskusikan keampuhan
Parashyutno Desantniy Otryad.
Rupanya aksi PDO di Ukraina telah membangkitkan keinginan negara-negara
di Eropa untuk memiliki pasukan penerjun payung sehebat Uni Soviet.
Keinginan mereka akhirnya terwujud, di antaranya Jerman, membentuk
Fallschirmjager tahun 1935–beberapa saat setelah Herman Goering menyaksikan demonstrasi terjun payung pasukan PDO.
Sedangkan
Perancis, di tahun yang sama juga membentuk pasukan penerjun payung.
Pembentukan pasukan payung ini merupakan usulan Kapten Geille dari
Angkatan Udara, lulusan
Soviet Airborne Academy, Moskow. Ia menyeleksi anggota pasukan payung melalui
Avignon-Pujaut Paratroopers Schools–sekolah
penerjun payung rintisannya. Dari sekolah tersebut militer Perancis
kemudian membentuk dua grup tempur yang dinamai “Groupes d’Infanterie de
I’Air”. Meski demikian, pada 17 November 1915 Perancis juga sempat
melangsungkan penerjunan militer, aksi tersebut dilakukan Constan
“Marin” Duclos. Saat itu dirinya melakukan serangkaian tes penerjunan,
yang aman dan tanpa masalah.
Seolah “tidak mau kalah” dengan Jerman. Beberapa tahun jelang Perang Dunia II–yang tak mereka duga–bekerja sama dengan
Special Air Services (SAS)
Inggris, Perancis semakin rajin menciptakan pasukan terjun payungnya.
Tak hanya mencipta, Perancis juga berhasil memodifikasi pasukan penerjun
yang awalnya terintegrasi dalam Angkatan Udara, menjadi bagian dari
Angkatan Darat. Mereka tergabung dalam Divisi Lintas Udara (Linud) atau
Airborne.
Namun, pemanfaatan pasukan Linud tak hanya dilakukan Perancis saja,
karena nantinya dalam Perang Dunia II banyak negara yang melakukan hal
serupa.
Catatan :
[1]
The Antlaticus Codex atau
Atlantic Codex,
merupakan kumpulan gambar serta tulisan Leonardo da Vinci semasa hidup.
Karya yang ia bukukan ini terdiri dari 12 jilid, di mana rata-rata
dalam satu jilidnya terdiri dari ratusan halaman. Sehingga tidak
mengherankan jika tumpukan tulisan da Vinci ini mencapai ribuan halaman.
Naskah yang berisi berbagai macam hal ini, di antaranya mengenai
persenjataan, peralatan terbang, botani, matematika, serta instrument
musik ini dikumpulkan oleh seorang pemahat bernama Pompeo Leoni. Sebelum
menjadi sebuah buku, Leoni menemukan naskah tersebut dalam bentuk
lembaran-lembaran terpisah. Naskah
Atlantic Codex kini tersimpan di Ambrosiana Biblioteca Milan, Italia. Baca “Officials Report Mold in a Leonardo Collection”,
http://www.nytimes.com/2007/12/23/world/europe/23davinci.html, diakses tanggal 7 Juni 2011.
[2]“History of Aviation, Andre Jaques Garnerin”, pada
http://www.spartacus.schoolnet.co.uk/AVgarnerin.htm,
diakses tanggal 6 Juni 2011. Komposisi parasut buatan Garnerin terdiri
dari sebuah kanvas putih berdiameter 23 kaki sebagai kanopi. Juga
memakai sejumlah 36 rusuk sebagai kerangka yang sedikit lentur. Sehingga
bentuknya menyerupai payung yang sangat besar. Selain menggunakan jenis
kanvas, juga menggunakan kain linen dan sutera.
[3]
Ibid.
[4]
Airship ini
sebenarnya telah didesain pada 1874 dan dipelopori oleh seorang warga
Jerman Count Ferdinand Adolph Heinrich von Zeppelin (1838-1917). Sebelum
pecah Perang Dunia I, Zeppelin digunakan sebagai pesawat transportasi
oleh
Deutsche Luftschiffahrts-AG (DELAG). Selama perang berlangsung, pesawat ini beralih fungsi sebagai pembom dan pengintai.
[5]
Semacam pesawat kecil tak bermesin yang digantung dengan tali pada
Zeppelin dan dilengkapi perangkat komunikasi. Berfungsi sebagai
pengintai musuh di darat. “The Great War, Perang modern terbesar
pertama”,
Angkasa Edisi Koleksi, hlm. 93.
[6] Para
penerjun terlebih dahulu harus ke luar menuju atap dan sayap Tupolev
TB-3, kemudian mereka baru melakukan penerjunan. Sehingga bagian luar
pesawat dipenuhi para penerjun yang sedang bersiap. Bisa dibayangkan
betapa besar resiko akan bahaya aksi penerjunan saat itu.
[7] Baca “KOSTRAD, Pasukan Pemukul Terbesar”,
Angkasa Edisi Koleksi, hlm. 93. Kemampuan pasukan penerjun Rusia ini bisa disandingkan dengan kehebatan Kostrad dari Indonesia.
Di Unggah dari Buku